27 Mei 2009

mari bicara tentang pembangunan

Oke, sekarang saya tidak sedang jalan-jalan. Akhir bulan harus ada penyesuaian. Tidak jalan-jalan, tapi tetap berjalan. Alias melakukan perjalanan. Dari kos ke kantor, kembali ke kos. Maklum, belum punya kendaraan, jadi tetap berjalan.

Ngomong-ngomong soal blogging, saya kemarin sempat puter-puter di dunia blog alias blogodwipa. Banyak yang menyatakan bahwa membangun sebuah blog, tidak bisa dilakukan dengan metode pembangunan Candi Sewu oleh Bandung Bondowoso. Hanya semalam, dengan bantuan jin, dan masih ngutang satu candi pula. Membangun blog ibarat membangun sebuah rumah. Harus dimulai dari pondasi, dari bawah, dst.

Nah, kali ini, saya tidak akan berkisah pembangunan sebuah blog, pembangunan Candi Sewu (minus satu), pembangunan jangka menengah lima tahun, atau pembangunan jangka panjang dua puluh lima tahun.
Biarlah pembangunan Candi Sewu kita serahkan pada Bandung Bondowoso saja. Pembangunan blog kita serahkan pada ahlinya, semacam Mas Hengky, Mas Haris, Mas Candra, Mas Habibie Reza, dan kawan-kawan. Sementara, pembangunan lima tahun mendatang, kita serahkan saja kepada presiden yang terpilih.

Oke, cukup basa basinya, lanjutkan!

Kali ini kita belajar membangun rumah berlantai dua saja.
Saya ambil sampel "rumah tetangga kos saya yang direncanakan berlantai dua".
Jadi, beberapa minggu terakhir, di sebelah kos saya,di rumah tetangga saya, terlihat banyak kesibukan. Nah, rumah tetangga saya ini, rencananya akan dibuat menjadi dua lantai. Siang, malam, tak kenal waktu, Pak Tukang merenovasi rumah, dan membuat penyangga di lantai satu.

Akhirnya, tiba saat-saat yang dinantikan. Di suatu siang yang cerah, saya dikagetkan dengan kedatangan tiga truk besar pengaduk semen, dan sebuah truk selang semen.
Saya pikir, sedang terjadi penyerbuan constructicon (anak buah Megatron dalam kartun Transformer).
Dan, siang itu terjadi kejadian penyemprotan semen di "calon lantai dua" rumah tetangga saya. Istilah orang Jawa "nge-dak".
Bukan masalah "nge-dak"-nya yang akan saya angkat di sini. Mengapa "hanya" untuk me"nge-dak" rumah "yang hanya" sebesar ini sampai dibutuhkan tiga truk pengaduk semen dan sebuah truk selang semen?
Bukankah ini sama dengan "membunuh nyamuk dengan basoka", pemborosan, atau show of power?
Tidak pernah saya lihat di Jawa, orang membangun rumah dengan mengerahkan truk-truk sebanyak itu. Begitu juga teman saya dari Medan, heran dengan metode pembangunan baru seperti ini.
Usut punya usut, ternyata, memang beginilah cara orang Makassar membangun rumah. Hmmm, "lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya." Lain-lain budaya orang di negeri ini. Bersyukur saya dapat pengalaman baru.










Dan sepertinya, membangun rumah dengan cara seperti ini lebih cepat. Lebih cepat lebih baik,
bukan?

Ah, andai saja Bandung Bondowoso kenal dengan persewaan truk ini, tidak akan ada Roro Jonggrang jadi patung.
Makin lanjutkan makin baik...

19 Mei 2009

wisata ke Pulau Samalona sama saya

Kali ini, kembali saya mengadakan perjalanan. Ya, perjalanan. Bukankah hidup ini sebuah perjalanan? Perjalanan kali ini berbeda dengan perjalanan sebelumnya. Kali ini bukan sekadar keliling kota. Kami (ya, “kami” karena beramai-ramai) keluar Pulau Sulawesi, menuju gugusan pulau kecil di sekitar Pulau Sulawesi. Yah, semacam Kepulauan Seribu bagi Jakarta.

Tujuan kami kali ini ke Pulau Samalona. Pulau Samalona berjarak sekitar 20 menit perjalanan laut menggunakan perahu bermesin tempel. Cukup mahal kami menyewa perahu. Untuk menyewa dua buah perahu saja, kami menghabiskan Rp650.000,00. Mungkin kami kurang bisa menawar. Sebagai informasi, rekan-rekan saya bisa menyewa sekitar 280-300 ribu per perahu. Saran pertama saya, pintar-pintar lah menawar.

Berangkat lah kami berenam belas. Ya, enam belas orang dalam dua perahu, atau delapan kepala per perahu. Perahu tidak bisa diisi lebih dari sepuluh jiwa, karena terlalu berisiko. Perjalanan yang cukup menyenangkan. Hembusan angin laut, kapal patroli polisi perairan, dan ternyata, air laut di sini sama-sama asin. Heran juga saya, di mana-mana air laut rasanya kok sama ya?

Tibalah kami di Pulau Samalona. Pasir putih, biru dan beningnya air laut, rindangnya pepohonan, menyambut kami. Turun dari perahu, kami disambut penjual jasa rumah singgah. Sedikit cerita menarik, penjual jasa yang ibu-ibu sempat marah dengan saya, ya saya sendiri. Masalahnya, waktu ditawari, saya diam saja. Bukan apa-apa, saya tidak paham bahasa si Ibu. Soalnya dia bicara dalam bahasa lokal. Sedangkan saya ngiseng sekede-sekede (hanya tahu sedikit saja) bahasa Makassar. Saran kedua saya, kalau Anda tidak bisa bahasa lokal, gunakanlah logat asli Anda, agar mereka paham, Anda bukan penduduk lokal.













Setelah bernegosiasi, tercapailah kata sepakat kami menyewa rumah singgah Rp200.000,00. Rumah itu kami gunakan untuk meletakkan barang-barang bawaan kami. Tidak menunggu lama, saya segera mencari persewaan alat snorkling. Biaya sewa hanya Rp20.000,00 per sepuasnya. Segera ganti baju, celana, pasang alat snorkling, nyebur. Asyik juga snorkling. Benar-benar menyatu dengan alam. Ikan-ikan kecil hilir mudik, terumbu karang (yang sayangnya) rusak, air jernih tapi asin, sinar matahari cerah membakar kulit. Semakin ke tengah, semakin indah saja, ikan-ikan lebih banyak, terumbu karang mulai indah, lebih dalam. Namun tidak saya teruskan. Sederhana saja, saya tidak ingin kesasar ke Kalimantan.
Acara selanjutnya, berjemur. Memanaskan kulit hitam saya agar lebih hitam, tanpa manis. Bermain pasir, dan (lagi-lagi) asin air laut. Dan, akhirnya berkeliling pulau. Tak disangka tak dinyana, ternyata ini pulau kecil sekali. Hanya seluas 2-3 lapangan sepakbola. Cukuplah waktu 5-10 menit keliling pulau nan indah ini.

Pulau Samalona, dimiliki oleh tujuh orang leluhur. Nama-namanya saya tidak hapal. Sekitar 30-40 KK mendiami pulau ini. Tiada kendaraan bermotor, jalan aspal, dan keramaian. Hanya desir ombak dan angin laut membelai lembut pulau kecil ini.
Selesai berkeliling, mandi. Ternyata, mandi juga dengan air tawar tapi asin alias payau. Sama saja, masih asin juga. Baru sadar ternyata, kulit saya memerah karena terbakar. Saran ketiga saya, pakailah sunblock, bagi Anda yang memedulikan penampilan.

Di pulau ini, hanya ada satu warung makan. Dan, sayangnya lagi, makanan yang dijual hanya mie instan. Kalau Anda ingin makan “normal”, siapkan uang Rp200.000,00 pengganti biaya masak ikan bakar. Terlalu mahal bagi turis lokal seperti kami. Saran keempat saya, bawalah makanan dari Makassar, bagi Anda yang ingin lebih hemat.

Siang sampai sore, sambil menunggu perahu jemputan datang, kami habiskan waktu menikmati hembusan angin di sisi timur pulau ini, sisi yang menghadap Teluk Losari, Makassar. Sekitar pukul 15.00 WITA, perahu penjemput kami datang, dan menyarankan untuk segera pulang, karena angin semakin kencang, dan pasang semakin tinggi. Jika Anda ingin menikmati sunset dan sunrise, saran kelima saya, datanglah pada siang selepas tengah hari, lalu bermalam, dan kembali ke Makassar keesokan harinya.










Perjalanan yang menyenangkan, pengalaman baru, petualangan baru menjelajahi dunia bawah air. Maaf, tidak ada dokumentasi untuk alam bawah air. Kebetulan baterai camdig saya sedang habis saat itu. Hanya sempat mengabadikan lingkungan pantai saja.

Pulau Samalona, Pulau Wallpaper











Ke mana lagi ya, setelah ini?

Makin lanjutkan makin baik...

14 Mei 2009

hampir tertipu oleh penipuan gaya baru

Tadinya saya sedikit enggan posting cerita ini. Namun saya rasa, penting juga untuk mengabarkan kepada Anda semua. Terutama Anda yang belum mengalami hal ini. Semoga bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.
Hari Senin, 11 Mei 2009, kantor kami, BPK RI Perwakilan Prov. Sulawesi Barat mendapat fax dari (ngakunya) Depkeu dengan kop surat Dirjen Perbendaharaan. Isinya adalah undangan untuk mengikuti Bimbingan Teknis Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Bimtek PBJP) pada tanggal 18-19 Mei 2009 di Hotel Le Meridien, Jakarta.

Keesokaan harinya, Selasa, 12 Mei 2009, saya ditunjuk untuk mengikuti Bimtek tersebut. Senanglah hati saya, bisa terbang lagi ke Jakarta. Sore harinya, data diri saya fax kembali ke nomor di kop surat tersebut.
Rabu, 13 Mei 2009, saya akhirnya konfirmasi ke nomor yang tercantum pada surat atas nama Bpk. H. Marwan Nugroho, dengan nomor ponsel 085881666742. Percakapan awal terasa lancar. Namun, beberapa saat kemudian, terjadi keganjilan, sebagai berikut:
  1. Tidak ada pendaftaran via fax, pendaftaran hanya via ponsel;
  2. Tidak ada surat pemanggilan bagi peserta Bimtek;
  3. Biaya Bimtek 10 juta rupiah ditransfer ke rekening; (10 juta untuk 2 hari?)
  4. Waktu saya tanya tentang acara, malah orangnya sewot. Biasanya panitia orangnya ramah.
  5. Orang tersebut memaksa saya menyerahkan nomor rekening, dan uang hanya bisa ditransfer ke rekening dengan saldo minimal 3 juta rupiah. Padahal saldo saya tinggal 1 juta (:tersenyum getir)
  6. Akhirnya saya pinjam rekening teman kantor yang saldonya 4,9 juta.
  7. Di ATM, waktu mau cek apakah transfer sudah masuk, saya malah disuruh menekan tab ‘transfer’. Untung sebelum itu sudah ditelepon orang kantor untuk membatalkan transaksi, karena itu adalah penipuan berkedok baru.
  8. Pada akhirnya, ketika saya tanya, “Loh, kok transfer Pak? Bukannya saya harus menerima transfer?” eh, orangnya langsung tutup dia punya telepon. Waktu saya cek, nomornya sudah tidak aktif lagi.

Alhamdulillah
, tidak jadi tertipu.


Seketika itu juga, satu kantor saya langsung gempar. Tidak menyangka ada penipuan dengan modus operandi baru. Setelah ditelaah oleh Kasubag SDM, Hukum dan Humas kami, memang ditemukan beberapa kejanggalan dalam surat tersebut. Salah satunya, kalimat “Perpres 95 tahun 2007 sebagai Perubahan Keempat Keppres 80 tahun 2003, dst.” Padahal, seharusnya adalah “Perpres 95 tahun 2007 tentang Perubahan Ketujuh Keppres 80 tahun 2003, dst.” Ini adalah kesalahan yang fatal, karena salah dalam mencantumkan dasar hukum. Mana mungkin departemen sebesar Depkeu salah mencantumkan dasar hukum? Kejanggalan-kejanggalan lain rasanya tidak perlu saya ungkapkan lebih lanjut.

Sebenarnya ini bukan kasus pertama. Sebelumnya kasus ini pernah terjadi di Samarinda dan Jawa Barat (sesuai berita), di daerah lain juga pernah terjadi. Bahkan mungkin Anda pernah mengalami.

Terlepas dari ada tidaknya Bpk. H. Marwan Nugroho, atau orang tersebut memang dicatut namanya, dan tanpa bermaksud menyudutkan Dirjen Perbendaharaan akan adanya oknum dari dalam, kasus ini layak dicermati. Sebaiknya, mulai saat ini, periksalah kembali surat atau fax yang masuk ke kantor Anda. Atau, buat SOP tentang surat masuk. Termasuk juga, periksa ejaan dalam surat tersebut.
Pada akhirnya, saya hendak meminta maaf pada Mas Guntur, karena hampir tertipu gara-gara saya. “Nyuwun ngapunten nggih, Mas.”

“skeptisme profesional, bukan curiga, bukan pula percaya membabi buta” (Zulfikar Rizky, BPK RI Pwk. Prov. Sulteng)

Makin lanjutkan makin baik...

11 Mei 2009

Sore di Fort Rotterdam

Percayakah kawan, kadang kita nyeletuk ternyata dikabulkan? Seperti saat saya mengatakan, “Nif, aku temenin di Mamuju.” Ternyata, fayakun. Begitu pula kejadian sore itu, saya sempat berpikir, “Oh iya, di Makassar kan ada Fort Rotterdam, tempat pengasingan Pangeran Diponegoro. Kapan ya, bisa ke sana?” Tiba di kos, ketemu si Yonas, “Ayo, ke Rotterdam!” Apakah ini mimpi? Oh, tidakmi. Ini betulan.

Akhirnya, jadi juga saya ke Fort Rotterdam. Sekarang lebih ramai. Sekitar 10 orang. Bareng teman kosan, dan beberapa teman dari tetangga kos. Sama-sama BPK juga sih. (Lagi-lagi, sayang sekali) minus Aji.
Tiba di Fort Rotterdam, kesan pertama, keren! Tidak ditarik bayaran, cuma ngisi buku tamu. Bagus, bagus. Saya senang. Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang dibangun tahun 1545 oleh Kerajaan Gowa Talo. Dulunya sih, dibuat dari tanah. Di benteng ini pula, Pangeran Diponegoro diasingkan hingga akhir hayat beliau.Ramai sekali orang-orang berkunjung. Entah melancong seperti kami, pacaran, berfoto untuk pre-wedding, atau sekadar melihat sunset dari atas benteng. Ya, benteng ini menghadap persis ke laut. Bangunan-bangunan yang megah, dan ruangan-ruangan gelap nan mistis. Tidak sanggup saya bayangkan bagaimana Pangeran Diponegoro menjalani hari-hari terakhir dalam hidupnya di tempat ini. Semoga Allah membalas amal kebaikan beliau dengan surga-Nya. Amien.Sayangnya sore itu, bangunan yang menyimpan dokumen sejarah tidak dibuka. Sayang sekali, padahal banyak yang bisa dipelajari di sini. Tidak hanya sekadar jeprat-jepret sana-sini. Setelah berkeliling, pergilah kami menghambur ke pantai yang berjarak kurang dari 100 meter. Melihat nelayan berangkat melaut, anak-anak kecil berenang, dan berburu gonggong (siput kecil). Ah, damai sekali melihat wajah-wajah penerus negeri ini. Saya doakan kalian bisa melebihi sukses Pak Habibie dan Pak Jusuf Kalla, dek.Tidak seperti saat saya bersama Hanif, kali ini sunset bisa juga kami abadikan dalam kamera digital. Subhanallah. Indah sekali langit sore itu.Semakin lama, semakin saya mencintai kota ini.

“berbagi waktu dengan alam
kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya
hakikat manusia”

Makin lanjutkan makin baik...

bapak

bapak itu......


Malam itu, untuk ketiga kalinya saya sholat berjama’ah dengan bapak itu. Sepintas tidak ada yang spesial dari sosok bapak itu. Usia kira-kira awal 30 tahun, tidak seberapa tinggi, tidak gemuk,tidak juga kurus. Apa yang membuat saya menulis tentang beliau?

Beliau mengingatkan saya pada kisah Rasulullah. Suatu ketika Rasulullah sholat, ketika sujud, kedua cucu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, al Hasan dan al Husein bermain-main di punggung beliau. Beliau sujud sangat lama, sehingga para sahabat, setelah selesai sholat, bertanya-tanya, apakah ada wahyu yang turun? Ternyata bukan. Kasih sayang Rasulullah kepada kedua cucunya lah yang menyebabkan beliau tidak mengisyaratkan mereka untuk turun.

Begitu pula bapak ini. Ketika beliau sujud, salah seorang anaknya, usia kira-kira 1,5 tahun, gemuk, dan lucu, juga bermain-main di atas punggung beliau. Tiga kali saya sholat berjama’ah dengan beliau, tiga kali pula saya mengetahui kejadian yang sama. Tidaklah beliau marah kepada anaknya. Bahkan, dengan lembutnya, beliau setelah selesai sholat memangku, mengelus punggung, dan menciumi anaknya. Beliau juga mengajarkan anaknya gerakan sholat, dengan menunjukkan pada anaknya orang-orang yang sedang sholat sunnah rawatib. Sepintas saya mendengar bapak itu berkata pada anaknya, “Begitu lho Nak, cara bersedekap, rukuk, sujud.” Entah dengan anaknya, paham atau tidak, beliau tetap mengajari dengan sabar. Terenyuh hati saya melihat rangkaian kejadian tersebut.
Sekarang, bagaimana kita, terhadap bapak-bapak kita? Mungkin kita juga pernah menjadi anak kecil 1,5 tahun itu, dan bapak kita adalah bapak anak itu. Maka berterima kasihlah kita, bersyukurlah kita masih memiliki bapak yang menyayangi kita. Doakanlah selalu beliau agar senantiasa dalam kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala.

(tulisan ini saya dedikasikan kepada Bapakku[maaf Pak, saya belum bisa menjadi anak yang selalu kau banggakan] , bapak anak kecil itu di Masjid Al Fadli-RSI Faisal, bapak-bapak di manapun Anda berada, para calon bapak, dan para pemuda yang ingin menjemput sebutan “bapak”)
Makin lanjutkan makin baik...

losari, sore itu

Hari Ahad, jadi juga saya dan Hanif pergi ke Pantai Losari. Nggak lucu kan, sudah sampai di negeri orang, tidak sempat melihat-lihat? Aji kebetulan tidak ikut. Bukan tidak diajak, tapi memang ga mau ikut. Sesimpel itu alasannya. Berangkat ke Losari, kami naksi (naik taksi). Bukan, bukan kami banyak uang. Di sini, moda transportasi umum belum selengkap Jakarta, kawan. Di kota Makassar, sampai saat ini, baru dua jurusan pete-pete (angkot, bahasa Makassar) yang kami temui, yaitu IKIP dan UNHAS. Yah, walaupun cukup mahal ongkosnya. Tak apalah, sesekali ini.

Back to the story. Tibalah kami di Pantai Losari. Masih gerimis saat itu. Tetap ramai. Pantai Losari, pantai beton di Teluk Losari. Biasa lah, namanya pantai. Isinya orang mancing, nongkrong, ABG pacaran, nggak jauh beda suasananya dengan pantai-pantai lain di republik ini. Sebenarnya, ini pantai, pantai nyang indah. Namun, Anda tahu sendiri sifat buruk orang-orang di republik tercinta kita ini. Bisa membangun, kurang bisa merawat. Sampah di sana-sini, besi pengaman di tepi laut telah berkarat. Bayangkan, betapa tidak lucunya, bila ketika saya nyender di besi berkarat itu, ujug-ujug patah, saya nyemplung ke laut, dikira ikan baronang, bibir saya nyangkut mata kail.
Oh ya, sebenarnya kami tidak hanya berniat mengunjungi Losari saja. Sekalian ketemu teman saya satu kabupaten, sama-sama orang Purworejo. Heri Wagianto namanya, kerja di BPPK. Kebetulan, kosannya dekat pantai ini. Plesiran sekalian silaturahim? Menyenangkan. Kasihan juga dia tak ada teman di kota terbesar di Indonesia Timur ini.

Puas melihat-lihat, kami (saya, Hanif, plus Heri, minus Aji) mencoba makanan khas Makassar. Pisang epe’ namanya. Sampai detik ini, pisang epe’ masih the best food in Makassar, menurut saya. Rasanya paling wajar-tanpa-pengecualian di lidah saya. Sebenarnya, pisang epe’ ini tak jauh beda dengan pisang bakar. Nampaknya pisang epe’ adalah derivasi dari pisang bakar. Atau bisa dikatakan juga sepupu dekat pisang bakar.

Jadi, kalau ada pertanyaan: “Pisang, pisang apa nyang paling stress?” pisang epe’ jawabnya. Kenapa, eh kenapa yang enak-enak itu haram? Oh, bukan, bukan, itu barusan Bang Haji Rhoma Irama. Back to the topic. Mengapa? Karena pisangnya tertekan. Iya, benar, pisangnya T-E-R-T-E-K-A-N. Maksudnya, pisangnya “digencet”. Bayangkan, menggencet pisang, saudara-saudara, bukankah ini pekerjaan yang mulia? Daripad menggencet rakyat kecil, bukankah lebih baik menggencet pisang? Lebih nikmat rasanya.

Bagaimana bisa tahu nikmat rasanya? Sederhana saja. Ada pisang rasa keju, pisang rasa coklat, pisang rasa durian. Tapi, jangan coba-coba cari saja pisang rasa pisang, sulit! Harga, cukup Rp6.000,00 dapat tiga pisang, yang gedenya memang segede pisang. Ya, segede pisang, masa’ mau segede semangka?

Melihat sekeliling, saya sempat berpikir, sepertinya Pantai Losari ini dipersiapkan menjadi lokasi seperti Pantai Kuta di Bali. Terlihat dari banyaknya penjual suvenir dan pertokoan di pantai ini.
Habis makan pisang epe’, kami lanjut jalan-jalan di Jalan Somba Opu, pusat oleh-oleh di Makassar. Belanja-belanji, dapat juga Kacang Disko nan terkenal itu. Makanan favorit di Indonesia Timur, slogan di bungkus kacangnya.
“KACANG DISKO, KACANG REMPAH, PEDAS. PALING DIGEMARI DI INDONESIA TIMUR”
Yah, begitulah promosi kacang disko a.k.a kacang ajep2.

Sayang sekali kami tak sempat mengabadikan sunset. Sudah terlanjur hujan lebat sore itu. Mampir ke kosan si Heri sebentar, sholat Maghrib, dilanjutkan sholat Isya’ di kantor polisi. Sempat ditegur polisi juga, dikira residivis yang nggak betah di luar, karena nggak-punya-ongkos-buat-hidup, ngobrol sana-sini, pulang. Hahaha, sederhana sekali ternyata perjalanan saya. Jangan harapkan lagi saya bercerita dengan baik, kawan.

Makin lanjutkan makin baik...

08 Mei 2009

ternyata kita lebih kecil

do not shun the aid of even the lowest and despicable people

Kalimat tersebut saya kutip dari buku (e-book, tepatnya) Secrets of The Ninja, dari Ashida Kim, terbitan DOJOpress.
Kalimat tersebut sebenarnya bukan dari Ashida Kim sendiri, tetapi dari seorang Cina, Sun-Tzu. Ya, Anda pasti lebih tahu siapa Sun-Tzu bukan?

Sempat saya bingung dalam mengartikan kalimat tersebut. Maklumlah, Bahasa Inggris saya tidak begitu bagus. Akhirnya dengan banyak bantuan software Kamus 2.03, ketemu juga artinya, alias terjemahan bebasnya.

"Jangan meremehkan bantuan, bahkan dari orang paling rendah, dan paling hina."

Ah, nasihat yang bagus bukan?
Saya sendiri juga heran, mengapa kebanyakan orang (semoga tidak termasuk Anda) selalu meremehkan orang yang kedudukan sosialnya lebih rendah dari mereka?
Apakah mereka tidak ingat, siapa yang mengumandangkan adzan pertama kali? Ya, Shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, Bilal radhiyallahu 'anhu. Siapakah beliau? Ya, beliau memang budak hitam dari negeri Habasyah (sekarang Ethiopia atau Somalia ya? Ah, saya lupa). Namun, kedudukan beliau di hadapan Allah 'azza wa jalla, pasti jauh lebih tinggi dari para pembesar Quraisy.

Sekarang, lihatlah sekeliling, mampukah kita membersihkan jalan raya sendirian, tanpa jasa bapak-ibu penyapu jalan, atau sudikah kita bergelut dengan sampah nan menyengat di rumah kita?
Banyak saudara kita, yang status sosialnya, bisa jadi, lebih rendah dari kita, tapi justru berjasa kepada kita.
Kalau kata Yudi Susanto, teman saya ketika kuliah, "hikmah bertebaran di mana-mana. Hanya, kita tidak melihat karena kita membuta. Lihatlah bebek, mereka dekil, jorok, tapi menurut pada peternak, bahkan dagingnya enak."

Bukankah Sang Maha Kuasa tidak menilai kita dari status sosial?
Bukankah Dia menilai kita dari ketaqwaan kita?

Lalu, mengapa kita masih "mengecilkan" peran "orang kecil"?
Makin lanjutkan makin baik...

comfort zone

Comfort zone
Zona nyaman, apalah itu namanya

Apa yang Anda pikirkan tentang itu? Duduk nyaman di kantor, ruangan ber-AC, lengkap dengan TV kabel, sebuah toples berisi kacang atom?
Anda tidak salah. Itu pikiran Anda, pendapat Anda. Namun, suatu ketika, pada saat merenung tentang arti comfort zone sendiri, saya menemukan hal yang baru. Sekali lagi ini penemuan saya, bisa disanggah.

Comfort zone dalam kamus saya, berarti "zona nyaman" (ya, eyalah). Maksudnya, zona di mana kita bisa nyaman di dalamnya. Heheh, pengartian yang cukup cerdas untuk orang dengan kecerdasan minimalis seperti saya bukan?

Terkadang orang mengatakan pada seseorang yang lain, yang hidupnya serba enak, agar keluar dari zona nyamannya. Ah, terlalu panjang. Kita beri contoh dialog saja.

A : (sedang duduk di kursi malas, sambil nonton Termehek-Mehek Trans TV)
B : mbok ya Kamu itu main-main ke luar sana, mendaki gunung, apa loncat dari Monas. Keluar dari zona nyaman Kamu lah.

*red: Saya yakin, tidak ada penulis skenario sinetron di SCTV yang mau menerima skenario seperti ini.

Yah, begitulah, zona nyaman sering diartikan zona enak, mapan, tidak ada tantangan. Akan tetapi, bagi saya, sekali lagi menurut saya sih, masih bisa dibantah. Zona nyaman, ya itu tadi, zona di mana dia merasa nyaman.
Sebagai perbandingan, pendaki gunung, dengan pekerja kantoran yang kerjanya duduk di depan laptop ber-wifi sambil ngetik blog, nunggu surat masuk.
Apakah pendaki gunung itu telah keluar dari zona nyaman, sementara si pekerja kantoran itu (yang ternyata masih CPNS) terjebak zona nyaman. Untuk pekerja kantoran tak jelas itu, bisa jadi. Namun, apakah sang Pendaki Gunung telah meninggalkan zona nyaman? Saya rasa belum tentu.
Mengapa?
Bagi sebagian orang, mungkin di telah meninggalkan zona nyamannya. Bagi saya, tidak.
Dia telah menemukan zona nyamannya sendiri, di gunung. Ya, di gunung, di alam raya, di hutan, di mana saja. Dia nyaman hidup dengan tantangan.

Jadi, apa kesimpulannya?
Tidaklah seseorang meninggalkan zona nyaman, kecuali dia memasuki zona nyaman lainnya.
Makin lanjutkan makin baik...

07 Mei 2009

tersinggung

Teringat saat pengumuman penempatan.
"Hanif dan Dimaz di AKN VI, Perwakilan Sulawesi Barat."

Keadaan saat ini.
"Santai bos, kita masih di Makassar."
"Tenang aja, begitu kantor selesai dibangun, kita paling udah mutasi."

Tersinggung. Berat.

Seakan-akan mereka lupa, rejeki bukan cuma di Makassar.
Seakan mereka lupa, Allah pun menurunkan rizki-Nya di Mamuju.
Mengapa kita masih saja mengeluh, protes pada Yang Maha Kuasa?

Mengapa kita tidak bersyukur masih bisa mendapat penghidupan yang (Insya Allah) layak?
Tidakkah kita ingat berapa kali khatib-khatib di mimbar Jum'at, dengan mengutip ayat-ayat suci dari kitabullah, mengingatkan bahwa orang yang bersyukur, akan ditambah nikmatnya oleh Sang Khaliq?
Lalu, mengapa kita tidak bersyukur saja, kawan?
Makin lanjutkan makin baik...

sedikit tentang menulis

Menulis, merupakan suatu pekerjaan yang bisa dianggap susah bagi sebagian orang, tetapi sebagian lain mengatakan bahwa menulis merupakan jiwa mereka. Dan saya mungkin termasuk orang yang menganggap bahwa menulis merupakan pekerjaan yang cukup menyulitkan. Nah, saya menulis di sini adalah untuk menantang diri saya sendiri : “BISAKAH SAYA MENULIS (ARTIKEL)?“

Sebelumnya, perkenankanlah saya memperkenalkan diri kepada Anda semua. Nama saya DIMAZ OKKY PRIMANDITA. Mengapa nama “Dimaz“, bukan “Dimas“ ? Hal ini bukanlah sebuah ketidaksengajaan juru tulis Kantor Catatan Sipil, melainkan sebuah ‘kesengajaan terencana‘ dari ibu saya yang seorang guru SD negeri, dan ayah saya sebagai seorang Polisi Republik Indonesia.

Sedikit bercerita mengenai ayah saya, beliau adalah seorang yang sangat membenci Polisi Lalu Lintas, saat sedang mengadakan razia (tak resmi). “Mempermalukan korps kepolisian.“, begitu kata beliau.
Kembali menulis,,,,,,,

Ketika sebuah ide tidak tersampaikan. Entah karena ide tersebut bertentangan dengan akal sehat dan pendapat kebanyakan menusia, dan membicarakannya merupakan sesuatu yang dianggap ‘sesat dan menyesatkan‘, maka mungkin menulis merupakan salah satu alternatif penyampaian ide–ide tersebut.

Semoga segala hal yang saya tulis di sini, dapat membuka pikiran, terutama saya pribadi, dan Anda tentunya. Kita tidak pernah berharap tulisan–tulisan saya nantinya menjadi bahan perdebatan yang panjang, hingga kita saling bermusuhan.
Semoga pula, tulisan saya bisa menjadi sebuah titik di antara khazanah ilmu pengetahuan di segala bidang, di mana tulisan tersebut memang layak untuk ditempatkan dan diperbincangkan.

Kesalahan dalam penulisan adalah wajar, karena kita masih manusia.
Kesalahan dalam penyampaian pendapat adalah wajar, karena kita tak sempurna.
Kesalahan dalam mencerna pesan, mungkin salah saya dan Anda.
Akan tetapi kesalahan–kesalahan tersebut mohon dimaafkan, karena................
"INI ADALAH DUNIAKU“
Makin lanjutkan makin baik...

across the universe

Kalau Anda pernah berkunjung ke Makassar, tepatnya di Jalan A.P. Pettarani, lokasi kantor saya, Anda "dipaksa" menemukan ilmu baru. Ya, ilmu-menyeberang-jalan.

Menyeberang jalan, apalagi jalan yang sangat ramai, bisa menjadi momok bagi calon penyeberang jalan. Kalau Anda di Jakarta, menyeberang jalan yang ramai, bisa jadi itu bukan suatu masalah, Karena di sana ada jembatan penyeberangan.

Nah, di Jalan A.P. Pettarani ini, saya sempat kesulitan menyeberang jalan. Bayangkan, jalan ramai, seramai Jalan Gatot Soebroto di Jakarta, harus saya seberangi tanpa bantuan jembatan penyeberangan? Walhasil, selama beberapa hari, saya selalu menyeberang jalan dengan bantuan seorang teman yang berasal dari Makassar.

Namun, percayakah Anda dengan kekuatan lapar-dihadapkan-dengan-keuangan-yang-mepet-wal-tipis-sementara-warung-yang-murah-ada-di-seberang-jalan?
Ya, begitulah, akhirnya saya menemukan ilmu-menyeberang-jalan di negeri Makassar ini. Alhamdulillah, kekuatan lapar-dihadapkan-dengan-keuangan-yang-mepet-wal-tipis-sementara-warung-yang-murah-ada-di-seberang-jalan muncul di saat yang tepat. Maka, apa yang terjadi, terjadilah. Kun, fayakun!
Akhirnya, sukses juga saya menyeberangi Jalan A.P. Pettarani ini.
Baiklah, karena saya sudah bercerita tidak panjang dan tidak lebar, izinkanlah saya membagi sedikit ilmu-menyeberang-jalan di Makassar pada umumnya, dan Jalan A.P. Pettarani, khusunya.
Ilmu itu:
"menyeberang saja" atau "just across the road"

Mudah bukan? Ternyata pengendara di Makassar akan mengalah pada penyeberang jalan. Mereka akan menghindar ketika ada orang menyeberang jalan yang yakin dan tidak ragu-ragu, menyeberang atau tidak.
Jadi, masih nyambung kan, dengan postingan pertama saya?

"Cara terbaik untuk mulai (baca:menyeberang) adalah mulai (baca:menyeberang)"
Makin lanjutkan makin baik...

akhirnya nge-blog juga

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh

"cara yang paling tepat untuk mulai adalah mulai"

Kalimat ini saya dengar pertama kali beberapa tahun lalu ketika saya masih SMA. Saya lupa siapa yang mengatakannya, antara Tanadi Santoso atau Mario Teguh. Yang jelas, di sinilah saya menyapa Anda, karena saya tidak tahu bagaimana harus memulai sesuatu.

Saya berharap tulisan-tulisan dalam blog ini bisa memberikan manfaat. Andaikata ada hal-hal yang kurang tepat, mohon diingatkan.

Selamat menikmati.

Wassalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh
Makin lanjutkan makin baik...