Akhirnya, jadi juga saya ke Fort Rotterdam. Sekarang lebih ramai. Sekitar 10 orang. Bareng teman kosan, dan beberapa teman dari tetangga kos. Sama-sama BPK juga sih. (Lagi-lagi, sayang sekali) minus Aji.
Tiba di Fort Rotterdam, kesan pertama, keren! Tidak ditarik bayaran, cuma ngisi buku tamu. Bagus, bagus. Saya senang. Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang dibangun tahun 1545 oleh Kerajaan Gowa Talo. Dulunya sih, dibuat dari tanah. Di benteng ini pula, Pangeran Diponegoro diasingkan hingga akhir hayat beliau.
Ramai sekali orang-orang berkunjung. Entah melancong seperti kami, pacaran, berfoto untuk
pre-wedding, atau sekadar melihat sunset dari atas benteng. Ya, benteng ini menghadap persis ke laut. Bangunan-bangunan yang megah, dan ruangan-ruangan gelap nan mistis. Tidak sanggup saya bayangkan bagaimana Pangeran Diponegoro menjalani hari-hari terakhir dalam hidupnya di tempat ini. Semoga Allah membalas amal kebaikan beliau dengan surga-Nya. Amien.
Sayangnya sore itu, bangunan yang menyimpan dokumen sejarah tidak dibuka. Sayang sekali, padahal banyak yang bisa dipelajari di sini. Tidak hanya sekadar jeprat-jepret sana-sini. Setelah berkeliling, pergilah kami menghambur ke pantai yang berjarak kurang dari 100 meter. Melihat nelayan berangkat melaut, anak-anak kecil berenang, dan berburu
gonggong (siput kecil). Ah, damai sekali melihat wajah-wajah penerus negeri ini. Saya doakan kalian bisa melebihi sukses Pak Habibie dan Pak Jusuf Kalla, dek.
Tidak seperti saat saya bersama Hanif, kali ini
sunset bisa juga kami abadikan dalam kamera digital.
Subhanallah. Indah sekali langit sore itu.
Semakin lama, semakin saya mencintai kota ini.
“berbagi waktu dengan alamkau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnyahakikat manusia”