
Back to the story. Tibalah kami di Pantai Losari. Masih gerimis saat itu. Tetap ramai. Pantai Losari, pantai beton di Teluk Losari. Biasa lah, namanya pantai. Isinya orang mancing, nongkrong, ABG pacaran, nggak jauh beda suasananya dengan pantai-pantai lain di republik ini. Sebenarnya, ini pantai, pantai nyang indah. Namun, Anda tahu sendiri sifat buruk orang-orang di republik tercinta kita ini. Bisa membangun, kurang bisa merawat. Sampah di sana-sini, besi pengaman di tepi laut telah berkarat. Bayangkan, betapa tidak lucunya, bila ketika saya nyender di besi berkarat itu, ujug-ujug patah, saya nyemplung ke laut, dikira ikan baronang, bibir saya nyangkut mata kail.
Oh ya, sebenarnya kami tidak hanya berniat mengunjungi Losari saja. Sekalian ketemu teman saya satu kabupaten, sama-sama orang Purworejo. Heri Wagianto namanya, kerja di BPPK. Kebetulan, kosannya dekat pantai ini. Plesiran sekalian silaturahim? Menyenangkan. Kasihan juga dia tak ada teman di kota terbesar di Indonesia Timur ini.
Puas melihat-lihat, kami (saya, Hanif, plus Heri, minus Aji) mencoba makanan khas Makassar. Pisang epe’ namanya. Sampai detik ini, pisang epe’ masih the best food in Makassar, menurut saya. Rasanya paling wajar-tanpa-pengecualian di lidah saya. Sebenarnya, pisang epe’ ini tak jauh beda dengan pisang bakar. Nampaknya pisang epe’ adalah derivasi dari pisang bakar. Atau bisa dikatakan juga sepupu dekat pisang bakar.

Bagaimana bisa tahu nikmat rasanya? Sederhana saja. Ada pisang rasa keju, pisang rasa coklat, pisang rasa durian. Tapi, jangan coba-coba cari saja pisang rasa pisang, sulit! Harga, cukup Rp6.000,00 dapat tiga pisang, yang gedenya memang segede pisang. Ya, segede pisang, masa’ mau segede semangka?
Melihat sekeliling, saya sempat berpikir, sepertinya Pantai Losari ini dipersiapkan menjadi lokasi seperti Pantai Kuta di Bali. Terlihat dari banyaknya penjual suvenir dan pertokoan di pantai ini.
Habis makan pisang epe’, kami lanjut jalan-jalan di Jalan Somba Opu, pusat oleh-oleh di Makassar. Belanja-belanji, dapat juga Kacang Disko nan terkenal itu. Makanan favorit di Indonesia Timur, slogan di bungkus kacangnya.
“KACANG DISKO, KACANG REMPAH, PEDAS. PALING DIGEMARI DI INDONESIA TIMUR”
Yah, begitulah promosi kacang disko a.k.a kacang ajep2.
Sayang sekali kami tak sempat mengabadikan sunset. Sudah terlanjur hujan lebat sore itu. Mampir ke kosan si Heri sebentar, sholat Maghrib, dilanjutkan sholat Isya’ di kantor polisi. Sempat ditegur polisi juga, dikira residivis yang nggak betah di luar, karena nggak-punya-ongkos-buat-hidup, ngobrol sana-sini, pulang. Hahaha, sederhana sekali ternyata perjalanan saya. Jangan harapkan lagi saya bercerita dengan baik, kawan.
2 komentar:
pertamax!!!
hehehe...
kalo liat foto losari yang lo upload..kayanya ga jauhbeda ama pantai di depan kantor gubernur malut..hanya mungkin disini air'a masih jernih hingga keliatan ikan2 karang yang berenang berkelompok... tpi sayang, di ternate ga da spot yang bagus buat snorkling. jd kalo mo snorkling harus nyebrang dulu pake speedboat ke pulau laen...
anyway..ditunggu kiriman pisang ajeb2nya
makasih w13, dah mampir.
Posting Komentar