Assalamu'alaikum warohmatulloh wabarokatuh.
Halo kawan-kawanku, bagaimana kabar Anda semua?
Nantikan juga catatan perjalanan saya di Mamuju.
Salam sukses,
Wassalamu'alaikum warohmatulloh wabarokatuh
Makin lanjutkan makin baik...
sebuah perjalanan akan sia-sia tanpa kita pernah belajar darinya
Assalamu'alaikum warohmatulloh wabarokatuh.
Halo kawan-kawanku, bagaimana kabar Anda semua?
Akhirnya, tiba saat-saat yang dinantikan. Di suatu siang yang cerah, saya dikagetkan dengan kedatangan tiga truk besar pengaduk semen, dan sebuah truk selang semen.

Kali ini, kembali saya mengadakan perjalanan. Ya, perjalanan. Bukankah hidup ini sebuah perjalanan? Perjalanan kali ini berbeda dengan perjalanan sebelumnya. Kali ini bukan sekadar keliling kota. Kami (ya, “kami” karena beramai-ramai) keluar Pulau Sulawesi, menuju gugusan pulau kecil di sekitar Pulau Sulawesi. Yah, semacam Kepulauan Seribu bagi Jakarta.

Acara selanjutnya, berjemur. Memanaskan kulit hitam saya agar lebih hitam, tanpa manis. Bermain pasir, dan (lagi-lagi) asin air laut. Dan, akhirnya berkeliling pulau. Tak disangka tak dinyana, ternyata ini pulau kecil sekali. Hanya seluas 2-3 lapangan sepakbola. Cukuplah waktu 5-10 menit keliling pulau nan indah ini.
Selesai berkeliling, mandi. Ternyata, mandi juga dengan air tawar tapi asin alias payau. Sama saja, masih asin juga. Baru sadar ternyata, kulit saya memerah karena terbakar. Saran ketiga saya, pakailah sunblock, bagi Anda yang memedulikan penampilan.



Ramai sekali orang-orang berkunjung. Entah melancong seperti kami, pacaran, berfoto untuk pre-wedding, atau sekadar melihat sunset dari atas benteng. Ya, benteng ini menghadap persis ke laut. Bangunan-bangunan yang megah, dan ruangan-ruangan gelap nan mistis. Tidak sanggup saya bayangkan bagaimana Pangeran Diponegoro menjalani hari-hari terakhir dalam hidupnya di tempat ini. Semoga Allah membalas amal kebaikan beliau dengan surga-Nya. Amien.
Sayangnya sore itu, bangunan yang menyimpan dokumen sejarah tidak dibuka. Sayang sekali, padahal banyak yang bisa dipelajari di sini. Tidak hanya sekadar jeprat-jepret sana-sini. Setelah berkeliling, pergilah kami menghambur ke pantai yang berjarak kurang dari 100 meter. Melihat nelayan berangkat melaut, anak-anak kecil berenang, dan berburu gonggong (siput kecil). Ah, damai sekali melihat wajah-wajah penerus negeri ini. Saya doakan kalian bisa melebihi sukses Pak Habibie dan Pak Jusuf Kalla, dek.
Tidak seperti saat saya bersama Hanif, kali ini sunset bisa juga kami abadikan dalam kamera digital. Subhanallah. Indah sekali langit sore itu.
Semakin lama, semakin saya mencintai kota ini.
Hari Ahad, jadi juga saya dan Hanif pergi ke Pantai Losari. Nggak lucu kan, sudah sampai di negeri orang, tidak sempat melihat-lihat? Aji kebetulan tidak ikut. Bukan tidak diajak, tapi memang ga mau ikut. Sesimpel itu alasannya. Berangkat ke Losari, kami naksi (naik taksi). Bukan, bukan kami banyak uang. Di sini, moda transportasi umum belum selengkap Jakarta, kawan. Di kota Makassar, sampai saat ini, baru dua jurusan pete-pete (angkot, bahasa Makassar) yang kami temui, yaitu IKIP dan UNHAS. Yah, walaupun cukup mahal ongkosnya. Tak apalah, sesekali ini.
Jadi, kalau ada pertanyaan: “Pisang, pisang apa nyang paling stress?” pisang epe’ jawabnya. Kenapa, eh kenapa yang enak-enak itu haram? Oh, bukan, bukan, itu barusan Bang Haji Rhoma Irama. Back to the topic. Mengapa? Karena pisangnya tertekan. Iya, benar, pisangnya T-E-R-T-E-K-A-N. Maksudnya, pisangnya “digencet”. Bayangkan, menggencet pisang, saudara-saudara, bukankah ini pekerjaan yang mulia? Daripad menggencet rakyat kecil, bukankah lebih baik menggencet pisang? Lebih nikmat rasanya.Comfort zone
Zona nyaman, apalah itu namanya
Apa yang Anda pikirkan tentang itu? Duduk nyaman di kantor, ruangan ber-AC, lengkap dengan TV kabel, sebuah toples berisi kacang atom?
Anda tidak salah. Itu pikiran Anda, pendapat Anda. Namun, suatu ketika, pada saat merenung tentang arti comfort zone sendiri, saya menemukan hal yang baru. Sekali lagi ini penemuan saya, bisa disanggah.
Comfort zone dalam kamus saya, berarti "zona nyaman" (ya, eyalah). Maksudnya, zona di mana kita bisa nyaman di dalamnya. Heheh, pengartian yang cukup cerdas untuk orang dengan kecerdasan minimalis seperti saya bukan?
Terkadang orang mengatakan pada seseorang yang lain, yang hidupnya serba enak, agar keluar dari zona nyamannya. Ah, terlalu panjang. Kita beri contoh dialog saja.
A : (sedang duduk di kursi malas, sambil nonton Termehek-Mehek Trans TV)
B : mbok ya Kamu itu main-main ke luar sana, mendaki gunung, apa loncat dari Monas. Keluar dari zona nyaman Kamu lah.
*red: Saya yakin, tidak ada penulis skenario sinetron di SCTV yang mau menerima skenario seperti ini.
Yah, begitulah, zona nyaman sering diartikan zona enak, mapan, tidak ada tantangan. Akan tetapi, bagi saya, sekali lagi menurut saya sih, masih bisa dibantah. Zona nyaman, ya itu tadi, zona di mana dia merasa nyaman.
Sebagai perbandingan, pendaki gunung, dengan pekerja kantoran yang kerjanya duduk di depan laptop ber-wifi sambil ngetik blog, nunggu surat masuk.
Apakah pendaki gunung itu telah keluar dari zona nyaman, sementara si pekerja kantoran itu (yang ternyata masih CPNS) terjebak zona nyaman. Untuk pekerja kantoran tak jelas itu, bisa jadi. Namun, apakah sang Pendaki Gunung telah meninggalkan zona nyaman? Saya rasa belum tentu.
Mengapa?
Bagi sebagian orang, mungkin di telah meninggalkan zona nyamannya. Bagi saya, tidak.
Dia telah menemukan zona nyamannya sendiri, di gunung. Ya, di gunung, di alam raya, di hutan, di mana saja. Dia nyaman hidup dengan tantangan.
Jadi, apa kesimpulannya?
Tidaklah seseorang meninggalkan zona nyaman, kecuali dia memasuki zona nyaman lainnya.
Makin lanjutkan makin baik...
Teringat saat pengumuman penempatan.
"Hanif dan Dimaz di AKN VI, Perwakilan Sulawesi Barat."
Keadaan saat ini.
"Santai bos, kita masih di Makassar."
"Tenang aja, begitu kantor selesai dibangun, kita paling udah mutasi."
Tersinggung. Berat.
Seakan-akan mereka lupa, rejeki bukan cuma di Makassar.
Seakan mereka lupa, Allah pun menurunkan rizki-Nya di Mamuju.
Mengapa kita masih saja mengeluh, protes pada Yang Maha Kuasa?
Mengapa kita tidak bersyukur masih bisa mendapat penghidupan yang (Insya Allah) layak?
Tidakkah kita ingat berapa kali khatib-khatib di mimbar Jum'at, dengan mengutip ayat-ayat suci dari kitabullah, mengingatkan bahwa orang yang bersyukur, akan ditambah nikmatnya oleh Sang Khaliq?
Lalu, mengapa kita tidak bersyukur saja, kawan?
Makin lanjutkan makin baik...
Menulis, merupakan suatu pekerjaan yang bisa dianggap susah bagi sebagian orang, tetapi sebagian lain mengatakan bahwa menulis merupakan jiwa mereka. Dan saya mungkin termasuk orang yang menganggap bahwa menulis merupakan pekerjaan yang cukup menyulitkan. Nah, saya menulis di sini adalah untuk menantang diri saya sendiri : “BISAKAH SAYA MENULIS (ARTIKEL)?“
Sebelumnya, perkenankanlah saya memperkenalkan diri kepada Anda semua. Nama saya DIMAZ OKKY PRIMANDITA. Mengapa nama “Dimaz“, bukan “Dimas“ ? Hal ini bukanlah sebuah ketidaksengajaan juru tulis Kantor Catatan Sipil, melainkan sebuah ‘kesengajaan terencana‘ dari ibu saya yang seorang guru SD negeri, dan ayah saya sebagai seorang Polisi Republik Indonesia.
Sedikit bercerita mengenai ayah saya, beliau adalah seorang yang sangat membenci Polisi Lalu Lintas, saat sedang mengadakan razia (tak resmi). “Mempermalukan korps kepolisian.“, begitu kata beliau.
Kembali menulis,,,,,,,
Ketika sebuah ide tidak tersampaikan. Entah karena ide tersebut bertentangan dengan akal sehat dan pendapat kebanyakan menusia, dan membicarakannya merupakan sesuatu yang dianggap ‘sesat dan menyesatkan‘, maka mungkin menulis merupakan salah satu alternatif penyampaian ide–ide tersebut.
Semoga segala hal yang saya tulis di sini, dapat membuka pikiran, terutama saya pribadi, dan Anda tentunya. Kita tidak pernah berharap tulisan–tulisan saya nantinya menjadi bahan perdebatan yang panjang, hingga kita saling bermusuhan.
Semoga pula, tulisan saya bisa menjadi sebuah titik di antara khazanah ilmu pengetahuan di segala bidang, di mana tulisan tersebut memang layak untuk ditempatkan dan diperbincangkan.
Kesalahan dalam penulisan adalah wajar, karena kita masih manusia.
Kesalahan dalam penyampaian pendapat adalah wajar, karena kita tak sempurna.
Kesalahan dalam mencerna pesan, mungkin salah saya dan Anda.
Akan tetapi kesalahan–kesalahan tersebut mohon dimaafkan, karena................
"INI ADALAH DUNIAKU“
Makin lanjutkan makin baik...
Kalau Anda pernah berkunjung ke Makassar, tepatnya di Jalan A.P. Pettarani, lokasi kantor saya, Anda "dipaksa" menemukan ilmu baru. Ya, ilmu-menyeberang-jalan.
Menyeberang jalan, apalagi jalan yang sangat ramai, bisa menjadi momok bagi calon penyeberang jalan. Kalau Anda di Jakarta, menyeberang jalan yang ramai, bisa jadi itu bukan suatu masalah, Karena di sana ada jembatan penyeberangan.
Nah, di Jalan A.P. Pettarani ini, saya sempat kesulitan menyeberang jalan. Bayangkan, jalan ramai, seramai Jalan Gatot Soebroto di Jakarta, harus saya seberangi tanpa bantuan jembatan penyeberangan? Walhasil, selama beberapa hari, saya selalu menyeberang jalan dengan bantuan seorang teman yang berasal dari Makassar.
Namun, percayakah Anda dengan kekuatan lapar-dihadapkan-dengan-keuangan-yang-mepet-wal-tipis-sementara-warung-yang-murah-ada-di-seberang-jalan?
Ya, begitulah, akhirnya saya menemukan ilmu-menyeberang-jalan di negeri Makassar ini. Alhamdulillah, kekuatan lapar-dihadapkan-dengan-keuangan-yang-mepet-wal-tipis-sementara-warung-yang-murah-ada-di-seberang-jalan muncul di saat yang tepat. Maka, apa yang terjadi, terjadilah. Kun, fayakun!
Akhirnya, sukses juga saya menyeberangi Jalan A.P. Pettarani ini.
Baiklah, karena saya sudah bercerita tidak panjang dan tidak lebar, izinkanlah saya membagi sedikit ilmu-menyeberang-jalan di Makassar pada umumnya, dan Jalan A.P. Pettarani, khusunya.
Ilmu itu:
"menyeberang saja" atau "just across the road"
Mudah bukan? Ternyata pengendara di Makassar akan mengalah pada penyeberang jalan. Mereka akan menghindar ketika ada orang menyeberang jalan yang yakin dan tidak ragu-ragu, menyeberang atau tidak.
Jadi, masih nyambung kan, dengan postingan pertama saya?
"Cara terbaik untuk mulai (baca:menyeberang) adalah mulai (baca:menyeberang)"
Makin lanjutkan makin baik...
Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh
"cara yang paling tepat untuk mulai adalah mulai"